×
STUDILMU Career Advice - Continuous Improvement
Leadership

Continuous Improvement

STUDILMU Users By STUDiLMU Editor

Again, leader leads by example. Dan dengan menjadi contoh, bisa dibilang seorang leader adalah role model ataupun mentor bagi kompetensi yang ia harapkan dimiliki team membernya. Sehingga saat seorang leader menginginkan team membernya selalu dapat maju dan menunjukkan continuous improvement alias perkembangan berkelanjutan demi peningkatan kinerja, maka terlebih dahulu ia perlu mencontohkan bagaimana caranya, baru kemudian mendorong mereka untuk melakukannya.
 
Kata ‘Mentor’ sering digunakan untuk merujuk pada posisi sebagai pembimbing atau pengasuh. Berawal dari sebuah legenda Yunani dari buku The Odyssey of Homer yang bercerita tentang pahlawan perang Troya bernama Odysseus, yang berlayar ke Troy dalam misi penaklukan bangsa Troya. Selama perjuangannya berperang, Odysseus menitipkan dan menyerahkan pengembangan anaknya pada teman dekat sekaligus penasehatnya yang bernama Mentor. Dari kisah tersebut lah kemudian kata “Mentor” digunakan untuk merepresentasikan posisi seorang pembimbing atau pengasuh. Dalam perusahaan, dapat diumpamakan bahwa perusahaan adalah Odysseus, yang menitipkan pengembangan karyawan pada leader yang berperan sebagai Mentor.
 
Mentor adalah sosok yang tidak hanya memberikan bimbingan dan memberikan masukan, tapi sekaligus berperan sebagai guru, pemberi contoh, dan sosok yang menjadi pendorong kesuksesan orang lain. Misi seorang mentor adalah performance empowerment untuk tujuan kinerja positif. Sedangkan orang yang belajar atau mengaplikasikan apa yang telah diberikan dan diajarkan oleh Mentor biasa disebut dengan istilah Mentee. Mentor sejati mampu memberi makna, membantu mengembangkan orang lain, mengeluarkan potensi dan mendorong mereka untuk memberikan yang terbaik terhadap apa yang mereka lakukan. Leader sang mentor, menjadi pembimbing dan pemberi contoh bagi team member – para mentee, untuk terus berkembang.
 
Tapi bagaimana kita melakukannya, jika kita sendiri sudah berhenti menggebah diri? Berada dalam zona nyaman “Sudah OK” versi kita? Saat mencapai posisi dimana kita memimpin orang lain, tidak bisa dipungkiri akan ada perasaan bahwa diri sudah memiliki kompetensi dan atau pengetahuan yang (sedikit) lebih banyak dari mereka yang kita pimpin. Dan karena itulah tanpa sadar terkadang a good leader berhenti mendorong dirinya sendiri untuk terus berkembang. Tidak lagi segiat dulu saat mendaki dalam memperbaiki diri. Mungkin juga dalam benak terbersit “Hey, I’ve made it. What more could it be?”. Pemikiran yang menjadi awal kembalinya sosok mentor menjadi mentee, yang mentok di standar kompetensi yang batasnya ia tetapkan sendiri.
 
Umumnya ini terjadi karena leader merasa sekarang adalah gilirannya untuk menggebah orang lain – yang ada dalam garis komando, untuk lari lebih cepat. Untuk menjadi karyawan yang lebih sesuai bagi perusahaan, yang mampu mengimbangi tempo leader nya. Sosok-sosok yang mungkin dulu dipandang dengan geregetan karena begitu slow motion nya baik dalam kinerja maupun improvement, kini ada dalam wewenang untuk “dipecut” hingga menjadi lebih gesit. Waktunya berubah! Tapi khusus untuk team member. Leader? Mentok di sini saja, kan sudah OK.
 
Ternyata tantangan terberat saat menjadi seorang leader adalah menghadapi diri sendiri. At some point, saat merasa telah cukup mengisi diri dengan berbagai skill dan pengetahuan yang dibutuhkan, we stop. Kita berhenti. Berhenti mendorong diri kita, berhenti berkembang ke berbagai kemungkinan yang lebih luar biasa. Dan saat kita berhenti berkembang, saat itulah kita seolah kembali ke titik asal, seperti di awal memulai sebagai team member. Karena saat kita bergerak naik, apapun jabatan kita dalam memimpin, satu-satunya hal yang berubah adalah jumlah team member dan besaran tanggung jawab yang kita usung. Selebihnya, kita adalah bagian kelompok yang anggotanya memiliki kompetensi seragam. Kelompok berlabel “Jajaran Pemimpin”. Dan kita adalah anggotanya.
 
Para ahli, para pemimpin ternama, adalah mereka yang sungguh memiliki kesadaran diri yang baik untuk memecut dirinya agar terus berkembang. Jika feedback membantu bertumbuh dari luar, maka  kesadaran diri adalah energi terbesar dari dalam. Sederhana tapi sering kali terlupa. To remain alert, we need to stay aware. Aware tentang beberapa kondisi, seperti:

1. Pekerjaan mulai terasa bagai rutinitas yang “sambil merem juga kelar”

Orang akan berpendapat bahwa kita sudah sangat ahli di bidang ini. But my friends, tidakkah itu juga bisa berarti kita hanya melakukan hal yang itu itu saja? Tidak ada ide yang kita ramu dalam satu project atau program kerja baru. Hanya jadwal yang sama berulang-ulang, hingga rasanya sudah auto pilot mengerjakannya.
 

2. Merasa nyaman dengan pekerjaan yang kita miliki sekarang

Nyaman is a good thing, really. Lingkungan kerja yang nyaman adalah angan-angan pakem setiap karyawan. Tapi tunggu dulu. Pekerjaan dan lingkungan kerja adalah dua hal yang berbeda. I mean, come on. Siapa yang pernah dengar bahwa mendaki gunung itu nyaman? Atau berlayar jauh dengan kapal padat penumpang akan senyaman kasur baru berbusa tebal di kamar hotel bintang lima. Kalau benar begitu, jangan-jangan Anda malah masih tersangkut di dermaga? Be careful, comfort zone memang terasa bagai sofa empuk yang kita duduki saat menonton film ditemani aneka cemilan: membuat malas beranjak dan bergerak. Dan Anda pasti tahu apa efek malas bergerak – selain pembulatan merata.
 
Persis seperti itulah jika kita tidak menyadari comfort zone. Jangankan berlari, meraih remote tv pun terasa bagai tugas berat. Jangankan menceburkan diri dalam pengetahuan baru, menerima tantangan pun rasanya sungkan. Hasilnya? Otot-otot skill mulai kaku, refleks kerja cekatan menurun, aliran kreatifitas tersumbat lemak “Sudah Ok begini”. Buang jauh-jauh kata “Improvement” dari comfort zone, they just don’t fit together.
 
Great leaders, the experts, atau sebutan lainnya bagi pemimpin-pemimpin yang namanya sampai ke telinga kita, adalah contoh sosok yang tidak pernah berhenti mencereweti dirinya sendiri untuk berkembang, memperbaiki diri. Mereka menunjukkan beberapa ciri yang bisa kita jadikan contekan mementori diri sendiri.
 
  • Aware akan zona nyaman, dan mempelajari kegagalan
  • Mencoba “walk on the shoes” orang yang lebih kompeten atau layak dijadikan panutan
  • Selalu menginginkan feedback
  • Mau berprofesi ganda, sebagai karyawan dan sebagai ilmuwan
Saat tak menemukan petunjuk yang memenuhi bayangan, mereka mengumpulkan data, menganalisa, menciptakan teori, dan mengujinya. They stay foolish, and stay hungry.
 
Benang merahnya adalah tentang menghindari hal-hal yang nyaman dan enak. Seperti diet untuk menjaga kesehatan, justru hal-hal yang tidak nyaman dan tidak enak lah yang baik bagi kita.
 
Comfort zone, siapa yang tidak suka? Pekerjaan mudah bergaji besar, project berulang yang lancar, target yang sama dengan pencapaian stabil. Tidak perlu repot mencoba walk on the shoes top leader, toh profesi mereka jauh berbeda dari kita. Beda kelas, beda kasta. Dan kita juga tidak butuh feedback. Sudah Ok sampai di sini, mau feedback apa lagi? Apalagi kalau sampai ada mulut jahil yang tidak suka dengan kesuksesan kita, bisa dipastikan yang akan mereka beri adalah feedback negatif. Lalu soal data dan analisa? Oh come on.. let the experts do that. Itu tugas mereka. Untuk apa repot-repot, sudah ada orang yang jobdesc nya begitu.
 
Itu semua adalah hal tidak nyaman yang wajib dihindari. Dan ramuan kemauan kemampuan menghadapi ketidaknyamanan adalah faktor yang menentukan apakah kita menjadi sosok yang identik dengan continuous improvement. Dan begitulah good leaders. They don’t stop getting better.

Featured Career Advice