×
STUDILMU Career Advice - Komunikasi Asertif
Communication

Komunikasi Asertif

STUDILMU Users By STUDiLMU Editor

Hari yang padat dirasakan oleh Anita di Senin itu. Setelah meeting yang melelahkan bersama beberapa klien, Anita menunggu sopirnya menjemput di sebuah taman kota tak jauh dari meeting terakhirnya. Demi mengusir rasa bosan menunggu, perempuan separuh baya itu membeli setoples kue di toko kue terdekat dari tempat itu.
 
Sekembalinya dari toko kue, dengan langkah lelahnya, menuju ke sebuah bangku taman yang saat itu masih kosong. Anita segera mengambil dan mulai membaca sebuah buku yang selalu dibawa di dalam tasnya, senjata lain untuk mengusir kebosanan, dan memanfaatkan waktu menunggu.
 
Baru saja dia membuka halaman pertama buku itu, seorang pemuda mendekatinya, dan dengan bahasa tubuhnya tersenyum seraya meminta ijin untuk duduk di sebelahnya. Anita membalas dengan senyuman tanda mengijinkan pemuda tersebut untuk berbagi bangku. Sambil terus membaca, Anita menikmati kue manis itu.
 
Tanpa menoleh, Anita menangkap gerakan pemuda berkaos santai dan bercelana robek (khas anak kuliahan) itu juga mencomot kue yang sama. Anita hanya mencuri pandang dari sudut matanya, tanpa mengalihkan pandangannya ke buku yang dibacanya.Dalam hati ia berusaha berpikir positif, “Ah, mungkin anak muda ini kepengen, yah..biarlah dia mencoba satu dua potong kue..”
 
Namun, ternyata pemuda ini tidak berhenti mengambil satu per satu kue dalam toples itu, sambil memainkan gadget di tangannya. Anita mulai kehilangan konsentrasi, dia tidak nyaman melihat pemuda ini seakan-akan tidak punya sopan santun, mengambil kue miliknya tanpa permisi, bahkan tanpa merasa bersalah seperti itu. Namun, ia juga bingung, apa yang harus dilakukannya. Anita tidak enak melarang karena takut dipikir pelit. Tapi dengan gaya pemuda yang tak merasa bersalah sama sekali itu, Anita semakin kesal. Kesal yang akhirnya hanya mampu disimpannya dalam hati. Kesal yang akhirnya menjadi marah, namun tak bisa dilampiaskan karena dia sama sekali tak tahu bagaimana cara mengungkapkan kekesalannya tersebut.
 
Hingga akhirnya potongan kue terakhir tersisa dalam toples itu. Kali ini Anita bertekad bulat, tidak mau kalah dengan pemuda asing itu. Dengan mengumpulkan kekuatan dalam dirinya, dia bersiap mengambil kue terakhir sambil menatap ke arah pemuda itu. Tatapan mereka beradu, karena pada saat yang sama sang pemuda rupanya juga tidak mau kehilangan kesempatan untuk memperoleh potongan kue terakhir itu. Bahkan dalam hitungan detik tangan mereka sudah hampir beradu, berebut sepotong kue yang masih tersisa.
 
Dan…  Anita yang berhasil dengan kecepatan tangannya mengalahkan kecepatan tangan sang pemuda. Rasa puas karena keberhasilannya, langsung berubah menjadi kesal ketika melihat ekspresi sang pemuda yang malah tersenyum sambil tangannya memberi tanda seakan mempersilakan, “Apa-apaan ini.. Kurang ajar banget sih anak ini.. Ga tau diri.. kue siapa.. yang habisin siapa.. pakai acara rebutan lagi.. huuhh.. anak mana sih ini..“ tentu saja gerutuan Anita hanya di dalam hatinya, karena dia tidak enak hati kalau harus bermasalah dengan orang lain, apalagi hanya gara-gara sepotong kue.
 
Untunglah tak begitu lama, sopir yang ditunggu datang juga. Dengan lega sekaligus geram Anita segera beranjak dari bangku taman itu menuju mobilnya. Masih dengan menggerutu dalam hatinya, Anita memasukkan buku yang tadi dibacanya ke dalam tasnya, sekaligus mencari handphone hendak memutar playlist lagu favoritnya untuk setidaknya sedikit memberi ketenangan selama perjalanan pulangnya.
 
Namun, tak disangka, tangannya justru menemukan toples kue. Dikeluarkannya dari dalam tas dengan rasa bingung. Dan, ternyata itu adalah kue yang tadi dibelinya, masih utuh, bahkan segelnya pun belum terbuka.
 
Lalu.. tadi kue siapa? Jangan-jangan... aduh, memikirkannya saja sudah membuat Anita merasa sangat malu. Ingin rasanya menenggelamkan dirinya ke dalam tumpukan jerami yang banyak, sampai tak ada seorangpun menemukannya. Rasa malu yang luar biasa segera memenuhi seluruh perasaannya, ketika dia menyadari bahwa kue yang tadi dibelinya langsung dimasukkan ke dalam tas. Anita sama sekali tidak bisa mengingat dirinya pernah mengeluarkannya lagi.
 
Jadi.. yang tadi disangka kue miliknya, itu sebenarnya milik siapa? Lalu, siapa yang tak tahu malu memakan kue orang lain tanpa ijin? Dan, siapa sebenarnya yang tidak tahu diri berebut kue yang bukan miliknya? Dan yang paling parah adalah, kenyataan bahwa dirinya sudah berpikir negatif ke orang yang salah, tanpa menyadari kebenaran bahwa dirinyalah yang salah.
 
Cerita tentang  Anita, bisa saja saya, dan Anda, alami. Bukan tidak mungkin hanya karena awalnya kita merasa tidak enak, takut akan pendapat orang lain, lalu berakhir dengan kejadian yang sama sekali jauh dari apa yang kita bayangkan sebelumnya. Dan sangat besar kemungkinannya, ketika kita tidak berani mengatakan apa yang kita rasakan dan pikirkan, pada akhirnya membawa kerugian bagi diri kita sendiri.
 
Keberanian, kejujuran terhadap diri sendiri, dan keinginan untuk mewujudkan win-win solution, atau yang sering kita pahami sebagai komunikasi yang asertif, memang tidaklah semudah membaca atau mempelajari teknik-tekniknya. Dalam kehidupan kita sehari-hari kita akan menemui keadaan diri kita yang terpenjara oleh persepsi diri yang belum tentu benar adanya. Ketakutan dinilai pelit seperti yang Anita rasakan, kekhawatiran dinilai orang dingin, atau tidak berperasaan, seringkali jadi musuh terbesar dalam mengimplementasikan komunikasi asertif.
 
Semua ketakutan itu berasal dari persepsi kita. Jika kita asertif, jangan-jangan orang lain tersinggung. Jika kita asertif jangan-jangan orang lain menilai kita begini begitu, dan akhirnya tidak mau bergaul lagi dengan kita. Jika kita asertif jangan-jangan orang yang mendengarnya merasa tidak nyaman. Jika dan jika lainnya, sebenarnya hanyalah bayangan menyeramkan yang menghantui dan meresahkan pikiran kita. Tidak pernah benar-benar terjadi sebelum kita mempraktikkannya.
 
Siapa yang dirugikan pada akhirnya? Ya kita sendiri, yang sudah takut sebelum kejadian, yang sudah kalah sebelum masuk ke medan pertempuran, yang sudah mundur sebelum memulai. Lalu bagaimana kita bisa mendapatkan komunikasi yang efektif jika kita tidak memulainya dengan asertif?
 
Semoga kita tidak mengulang kisah Anita, yang memilih untuk bersikap pasif, tidak mengutarakan perasaan dan pemikirannya. Atau mungkin kita juga bisa terjebak menjadi pasif agresif, yang ditandai dengan ketidakterbukaan ketika menghadapi seseorang (atau sesuatu) namun cenderung menyerang saat tidak berhadapan langsung dengan seseorang (atau sesuatu) tersebut. Pun tidak juga dengan keberanian yang berlebihan yang pada akhirnya menghasilkan komunikasi yang agresif dan merugikan orang lain.
 
Kalahkan peperangan persepsi di otak kita dengan lebih dulu memupuk keberanian ditambah dengan pikiran positif dan optimis. Selamat berkomunikasi asertif!!
 
Jika ingin menyelenggarakan training Komunikasi Asertif, silakan menghubungi kami di:
021 29578599 (Hunting)
021 29578602 (Hunting)
0821 1199 7750 (Mobile)
0813 8337 7577 (Mobile)
info@studilmu.com

Featured Career Advice