×
STUDILMU Career Advice - Adversity Quotient (Bagian 2)
Productivity

Adversity Quotient (Bagian 2)

STUDILMU Users By STUDiLMU Editor

Adversity Quotient (AQ) atau yang lebih dikenal dengan bagaimana kesiapan kita dalam menghadapi tantangan ternyata cukup berpengaruh dalam kehidupan. Ya bagaimana tidak, jika seseorang yang memiliki IQ tinggi namun tidak dapat mengimbangi dengan EQ atau kecerdasan lainnya, yang salah satunya adalah tentang kesiapan menghadapi tantangan, maka orang tersebut belum tentulah akan menjadi sukses. Anda tentu masih ingat dengan penggalan kisah tragis William James Sidis. IQ nya yang tinggi tidak diimbangi AQ yang baik. Ia membiarkan dirinya dihimpit oleh Circle of Concern yang kian membesar.

Sikap yang ditimbulkan mempengaruhi tingkah laku seseorang yang selanjutnya menghasilkan sesuatu. Ketika kita berpikiran positif maka hasil yang didapat juga hasil yang positif, namun jika kita berpikiran tentang hal yang negatif maka kita juga akan mendapatkan hasil yang negatif. Sidis telah menjadi obyek dari eksperimen Boris Sidis sang ayah yang seorang psikolog. Boris telah menerapkan sistem pendidikan model baru kepada James demi menyanggah sistem pendidikan konvensional yang dianggap sebagai biang keladi kejahatan. Sidis dapat disebut bersikap reaktif, karena ia memilih melupakan Circle of Influence yang menjadi kuasanya.

Adversity Quotient memiliki 4 dimensi yang masing-masing merupakan bagian dari sikap seseorang menghadapai masalah. Dimensi-dimensi tersebut adalah:

1. Control

Control atau kendali mempertanyakan berapa banyak kendali yang Anda rasakan terhadap sebuah peristiwa yang menimbulkan kesulitan. Menjelaskan mengenai bagaimana seseorang memiliki kendali dalam suatu masalah yang muncul. Apakah seseorang memandang bahwa dirinya tak berdaya dengan adanya masalah tersebut, atau ia dapat memegang kendali dari akibat masalah tersebut.

2. Origin dan Ownership

Mempertanyakan dua hal, yaitu siapa atau apa yang menjadi asal usul kesulitan, dan sampai sejauh manakah seseorang mengakui akibat kesulitan itu.

Origin menjelaskan mengenai bagaimana seseorang memandang sumber masalah yang ada. Apakah ia cenderung memandang masalah yang terjadi bersumber dari dirinya seorang atau ada faktor - faktor lain di luar dirinya.

Ownership menjelaskan tentang bagaimana seseorang mengakui akibat dari masalah yang timbul. Apakah ia cenderung tak peduli dan lepas tanggung jawab, atau mau mengakui dan mencari solusi untuk masalah tersebut.

3. Reach

Menjelaskan tentang bagaimana suatu masalah yang muncul dapat mempengaruhi segi-segi hidup yang lain dari orang tersebut. Apakah ia cenderung memandang masalah tersebut meluas atau hanya terbatas pada masalah tersebut saja.

4. Endurance

Menjelaskan tentang bagaimana seseorang memandang jangka waktu berlangsungnya masalah yang muncul. Apakah ia cenderung untuk memandang masalah tersebut terjadi secara permanen dan berkelanjutan atau hanya dalam waktu yang singkat saja.

Keseluruhan nilai dari dimensi ini akan menentukan nilai dari Adversity Quotient seseorang.

 

Faktor-faktor yang mempengaruhi AQ adalah:

1. Daya saing

Jason Sattefield dan Martin Seligman menemukan individu yang merespon kesulitan secara lebih optimis dapat diramalkan akan bersifat lebih agresif dan mengambil lebih banyak resiko, sedangkan reaksi yang lebih pesimis terhadap kesulitan menimbulkan lebih banyak sikap pasif dan hati-hati. Oleh karena itu, kesiapan dalam menghadapi tantangan sangatlah dibutuhkan agar dapat mencapai kesuksesan.

2. Kreativitas

Joel Barker menyatakan bahwa kreativitas muncul dalam keputusasaan, kreativitas menuntut kemampuan untuk mengatasi kesulitan yang ditimbulkan oleh hal-hal yang tidak pasti. Joel Barker menemukan orang-orang yang tidak mampu menghadapi kesulitan menjadi tidak mampu bertindak kreatif. Oleh karena itu, kreativitas menuntut kemampuan untuk mengatasi kesulitan yang oleh hal-hal yang tidak pasti.

3. Motivasi

Dari penelitian Stoltz orang-orang yang AQ-nya tinggi dianggap sebagi orang-orang yang paling memiliki motivasi.

4. Mengambil Resiko

Satterfield dan Seligman menemukan bahwa individu yang merespon kesulitan secara lebih konstruktif, bersedia mengambil banyak resiko. Resiko merupakan aspek esensial pendakian.

5. Perbaikan

Perbaikan terus-menerus perlu dilakukan supaya individu bisa bertahan hidup dan menjadi pribadi yang lebih baik. Selain itu juga karena individu yang memiliki AQ yang lebih tinggi menjadi lebih baik. Sedangkan individu yang AQ-nya lebih rendah menjadi lebih buruk.

6. Ketekunan

Ketekunan merupakan inti untuk maju (pendakian) dan AQ individu. Ketekunan adalah kemampuan untuk terus menerus walaupun dihadapkan pada kemunduran-kemunduran atau kegagalan.

7. Belajar

Carol Dweck membuktikan bahwa anak-anak dengan respon-respon yang pesimistis terhadap kesulitan tidak akan banyak belajar dan berprestasi jika dibandingkan dengan anak-anak yang memiliki pola-pola yang lebih optimis.

 

Kecerdasan menghadapi kesulitan tersebut dapat ditingkatkan atau dapat diperbaiki dengan melakukan hal-hal sebagai berikut:

  • Listen atau dengarkanlah respon terhadap kesulitan
  • Explore atau jajaki asal usul dan pengakuan atas akibatnya
  • Analysis bukti-buktinya
  • Do atau lakukan sesuatu

 

Untuk bisa sukses seorang karyawan perusahaan dituntut untuk memiliki kecerdasan di atas rata-rata kecerdasan manusia umumnya. Untuk menjadi staf pemula di perusahaan, maka test IQ – test Kecerdasan Intelektual diperlukan agar memenuhi syarat minimum yaitu seorang yang cerdas. Namun seorang karyawan juga harus mampu mengendalikan emosinya, yaitu mempunyai Kecerdasan Emosional – Emotional Quotient (EQ) yang baik. Emosi yang meledak-ledak tidak saja bisa membahayakan sang karyawan itu sendiri, tetapi juga dapat membahayakan perusahaannya yang sekaligus membahayakan masa depan investasi para pemilik modal. Tetapi, karyawan yang tanpa emosi akan melempem. Oleh karena itu seorang karyawan perusahaan harus mempunyai emosi yang tinggi namun mampu dikendalikan, dimanfaatkan secara cerdas.

Melengkapi itu semua, seorang karyawan perlu memiliki Adversity Quotient yang baik, mampu menerapkan AQ secara baik dan benar. Tidak jarang dalam dunia kerja ada sekelompok karyawan yang memiliki kecerdasan intelektual (IQ) tinggi kalah bersaing oleh para karyawan lain yang ber-IQ relatif lebih rendah namun lebih berani menghadapi masalah dan bertindak. Dengan AQ dapat dianalisis seberapa jauh para karyawannya mampu mengubah tantangan menjadi peluang. Kebanyakan manusia tidak hanya belajar dari tantangan tetapi mereka bahkan meresponnya untuk memeroleh sesuatu yang lebih baik. Dalam dunia kerja, karyawan yang ber-AQ semakin tinggi dicirikan oleh semakin meningkatnya kapasitas, produktivitas, dan inovasinya dengan moral yang lebih tinggi.

Secara teori, AQ menjelaskan mengapa beberapa orang lebih ulet ketimbang yang lain. Dengan kata lain apa, mengapa dan bagaimana mereka berkembang dengan baik walaupun dalam keadaan yang serba sulit. Dalam konteks pengukuran, AQ bisa digunakan untuk menentukan atau menseleksi para pelamar dan juga untuk mengembangkan daya kegigihan karyawan. Sebagai metode, AQ dapat dikembangkan untuk meningkatkan kinerja, kesehatan, inovasi, akuntabilitas, focus, dan keefektifitasan karyawan.

Dengan AQ mereka mampu mengatasi permasalahan bisnis dan kinerja karyawan. Antara lain dengan solusi AQ mereka melakukan program-program memperluas kapasitas karyawan dengan lebih efektif, mengembangkan kepemimpinan yang ulet atau gigih, menciptakan perilaku gigih dalam suatu tim kerja, memercepat perubahan dan menjadikan AQ sebagai salah satu komponen budaya korporat, memperkuat moral dan mengurangi kelemahan karyawan, meningkatkan mutu modal manusia dan mendorong inovasi, dan memerbaiki pelayan pada pelanggan dan penjualan.

Featured Career Advice